DENPASAR – Business Development Director dari Keindahan Dalam Jiwa, I Dewa Jayantika, memberikan pandangannya terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Spa dari kategori hiburan sebagaimana tercantum dalam KBLI 96122, Jum’at (03/01/2025).
Dalam revisi terhadap Pasal 55 Ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), MK telah mengeluarkan SPA dari kategori jasa hiburan.
Keputusan ini dinilai sebagai langkah signifikan dalam pengakuan Spa sebagai bagian dari industri kesehatan dan kebugaran, bukan semata sebagai bentuk hiburan.
Menurut Dewa Jayantika, keputusan ini tidak hanya akan menghapus stigma negatif yang kerap melekat pada industri spa, tetapi juga membuka peluang untuk pengembangan Spa yang lebih profesional dan berorientasi pada kesehatan fisik serta mental.
“Kami sangat mengapresiasi putusan ini. Spa seharusnya dipandang sebagai tempat penyembuhan dan relaksasi, bukan sekadar hiburan. Keputusan MK ini menjadi tonggak penting untuk menegaskan peran Spa dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” ujar Jayantika.
Jayantika menjelaskan bahwa Spa, terutama yang berfokus pada kesehatan dan kebugaran, memiliki pendekatan holistik yang melibatkan berbagai terapi seperti aromaterapi, terapi musik, dan pijatan relaksasi.
“Banyak pelanggan yang datang dengan keluhan fisik maupun mental. Saat mereka menjalani sesi terapi di Spa, seperti dengan musik bernada rendah dan aromaterapi, itu memberikan efek relaksasi yang mendalam. Bahkan, terapi ini mirip dengan konsep yoga nidra, yang membantu mencapai ketenangan pikiran,” jelasnya.
Dirinya juga menyoroti bahwa layanan Spa memiliki peran penting dalam mendukung kesehatan mental di era modern yang penuh tekanan.
“Spa bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk jiwa. Dalam satu sesi, pelanggan bisa merasakan penyembuhan menyeluruh, dari pijatan yang menenangkan hingga aroma yang memberikan efek terapeutik. Ini sangat jauh dari konsep hiburan,” tambah Jayantika.
Namun, Jayantika juga menyoroti tantangan yang dihadapi pengusaha Spa, terutama terkait kebijakan fiskal dan perpajakan. Sebelumnya, tarif pajak yang tinggi hingga 40% membuat pengusaha harus menyerap beban tersebut melalui sistem harga inklusif.
“Praktisnya, kami terpaksa memasukkan pajak ke dalam harga layanan. Akibatnya, kami yang seolah-olah menanggung pajaknya, meskipun seharusnya itu adalah tanggung jawab pelanggan. Ini menyebabkan penurunan net income kami hingga 20-24%, tergantung pada lokasi, seperti di Gianyar atau Badung dengan tarif pajak berbeda,” ungkapnya.
Ia berharap dengan adanya keputusan MK, pemerintah daerah akan lebih melibatkan para pengusaha dalam penyusunan kebijakan baru, baik yang berkaitan dengan perpajakan maupun perizinan.
“Saya berharap pemerintah daerah mengadakan public hearing dengan melibatkan pelaku usaha Spa. Kami siap berkontribusi untuk menciptakan regulasi yang adil dan mendukung keberlanjutan usaha ini,” tegas Jayantika.
Jayantika juga menekankan pentingnya membedakan antara Spa yang bergerak di bidang kesehatan dan kebugaran dengan spa yang masuk dalam kategori hiburan.
“Definisi Spa di KBLI 96122 jelas mencerminkan bahwa ini adalah industri kesehatan tradisional. Spa yang memenuhi standar ini harus dipisahkan dari stigma negatif yang mungkin melekat pada jenis spa lain,” ujarnya.
Ia optimis bahwa keputusan MK ini akan membawa dampak positif bagi industri Spa, terutama di Bali, yang dikenal sebagai pusat Spa berbasis tradisi dan budaya lokal.
“Kami ingin industri Spa ini diakui dan berkembang sesuai dengan esensinya sebagai layanan kesehatan. Dengan dukungan regulasi yang tepat, kami percaya Spa di Bali akan semakin mendunia,” tutup Jayantika.
Keputusan MK ini memberikan harapan baru bagi para pelaku usaha Spa untuk mendapatkan pengakuan yang sesuai dan membangun industri yang lebih berkelanjutan serta bermanfaat bagi masyarakat luas.(Tim-08)