BADUNG — Persoalan penguasaan lahan seluas 280 hektare di Bukit Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, kembali menyeruak ke permukaan. Proses mediasi antara Desa Adat Jimbaran dan PT Jimbaran Hijau (JH) yang digelar di Kantor Lurah Jimbaran, Senin (3/11/2025), berakhir tanpa hasil.
Di ruang itu, dua pandangan yang bertolak belakang kembali berhadapan: hak legalitas sertifikat perusahaan versus hak spiritual dan adat masyarakat Jimbaran yang merasa terusir dari tanah leluhur mereka sendiri.
Konflik ini berakar dari proses alih izin lokasi dan Hak Guna Bangunan (HGB) sejak 1990-an. Berdasarkan dokumen Resume Permasalahan Keberadaan PT Jimbaran Hijau tertanggal 29 Juli 2025, lahan tersebut awalnya digarap oleh warga Jimbaran turun-temurun untuk bertani dan berkebun.

Namun pada 1994, tanah itu dilepaskan melalui surat pernyataan “tidak keberatan” yang ditandatangani oleh beberapa pejabat kelurahan dan petajuk adat setempat, tanpa melibatkan para penggarap. Lahan kemudian beralih dari PT Bali Paradise Resort ke PT Citratama Selaras (CTS), dan selanjutnya berpindah ke PT Jimbaran Hijau (JH) pada 2009.
Menurut warga, proses pelepasan hak dilakukan tanpa transparansi dan musyawarah. Sejak saat itu, banyak warga kehilangan lahan garapan, mata pencaharian, bahkan terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka.
“Tanah itu adalah sumber hidup kami. Tapi ketika izin investor datang, kami hanya menjadi penonton di rumah sendiri,” tulis tim advokasi masyarakat adat Jimbaran dalam resume tersebut.
Lahan itu sempat dijanjikan sebagai proyek Bali International Park (BIP), kawasan wisata terpadu yang disebut akan menjadi lokasi penyelenggaraan KTT APEC 2013, sesuai Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2010.
Namun faktanya, proyek tersebut tak pernah terwujud. Hingga kini, area luas itu sebagian besar tetap kosong, hanya ditumbuhi semak dan dijaga ketat oleh petugas keamanan perusahaan.

Selama lebih dari 30 tahun, warga menilai PT Jimbaran Hijau menelantarkan lahan dan gagal memenuhi kewajiban pembangunan sebagaimana syarat perpanjangan HGB. Berdasarkan dokumen resmi, HGB PT Jimbaran Hijau sebagian besar berakhir pada tahun 2024.
Warga berharap Kementerian ATR/BPN tidak memperpanjang izin tersebut dan mengembalikan tanah ke negara, untuk kemudian diberikan prioritas pengelolaan kepada masyarakat adat Jimbaran.
Kemarahan masyarakat memuncak pada Juni 2025. Sebanyak 46 kepala keluarga pengempon Pura Belong Batu Nunggul menerima hibah Rp500 juta dari Pemprov Bali untuk memperbaiki pura yang telah berdiri jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Namun ketika material pembangunan hendak diangkut ke lokasi, mereka dihadang oleh petugas keamanan PT Jimbaran Hijau.
Akses jalan menuju pura ditutup tembok dan dipasangi papan larangan besar bertuliskan:
“BUKAN JALAN UMUM – DILARANG MASUK. PELANGGAR DIANCAM PIDANA PENJARA MAKSIMAL 7 TAHUN (PASAL 167, 385, 170 KUHP).”
Peristiwa itu menjadi simbol benturan antara nilai adat dan legalitas korporasi.
“Larangan itu bukan hanya menghambat perbaikan pura, tapi juga mengoyak rasa keadilan masyarakat adat. Pura adalah jiwa bagi umat di Bali,” tegas Bendesa Adat Jimbaran I Gusti Rai Dirga Arsana Putra seusai mediasi.

Kuasa hukum pengempon Pura Belong Batu Nunggul, I Nyoman Wirama, S.H., menilai tindakan PT Jimbaran Hijau sebagai bentuk intoleransi, arogansi, dan pelanggaran hukum.
Ia menegaskan bahwa akses jalan ke pura sudah ada jauh sebelum PT JH maupun PT Citratama Selaras beroperasi.
“Penggunaan jalan itu diatur dalam perjanjian dengan warga. Tak ada dasar hukum bagi siapa pun untuk melarang masyarakat beribadah di tempat suci mereka,” ungkapnya.
Wirama juga mengingatkan, konflik serupa pernah terjadi sebelumnya — termasuk perselisihan antara keluarga Wayan Bulat dan petugas keamanan perusahaan yang berujung ke pengadilan.
Namun, ia menekankan, fokus utama masyarakat adat tetap menjaga pura dan hak beribadah.
“Bali memiliki identitas adat dan budaya yang hidup dari pura dan tanahnya. Jika tanah dan pura dipisahkan, maka hilanglah roh kebalian itu,” ucapnya.
Sementara itu, kuasa hukum PT Jimbaran Hijau, Michael A. Wirasasmita, S.H., M.H., membantah tudingan bahwa perusahaan melarang masyarakat beribadah.
“Kami tidak pernah melarang kegiatan persembahyangan. Yang kami keberatan adalah pembangunan fisik baru dengan dana hibah di atas lahan yang secara hukum masih menjadi hak PT Jimbaran Hijau,” jelasnya.
Michael menegaskan, perusahaan memiliki tanggung jawab menjaga keabsahan aset agar tidak muncul persoalan hukum baru. Ia menyoroti bahwa penggunaan dana hibah pemerintah di atas tanah milik pihak lain dapat menimbulkan konsekuensi hukum administratif maupun pidana.
“Kami menghormati kegiatan keagamaan, tetapi hukum juga harus dihormati,” tambahnya.

Mediasi awal November ini menjadi babak terbaru dari konflik panjang yang belum berujung.
Desa Adat Jimbaran menuntut pembukaan akses dan pengembalian hak adat, sementara PT Jimbaran Hijau bertahan pada klaim kepemilikan sah melalui HGB.
Sebelumnya, masyarakat adat telah menempuh berbagai jalur:
– Aksi demonstrasi di Kantor Gubernur Bali (2011);
– Audiensi ke DPRD Provinsi Bali;
– Permohonan administratif ke BPN; dan
Gugatan class action No. 142/Pdt.G/2025/PN Dps yang kini memasuki tahap kasasi di Mahkamah Agung.
Meski lelah, perjuangan masyarakat adat Jimbaran belum usai. Mereka menegaskan, ini bukan sekadar soal tanah, melainkan soal harga diri dan identitas kebudayaan.
“Negara harus turun tangan. Kami tidak menolak pembangunan, tapi pembangunan tidak boleh mengorbankan budaya dan keyakinan,” tutup Bendesa Adat Jimbaran. (tim13)
