Cerita hari ini, Rabu 04 Juni 2025.
Pada zaman dahulu, di sebuah desa kecil yang tersembunyi di antara pepohonan dan perbukitan, berdirilah sebuah gubuk tua yang reyot dan hampir roboh. Di dalamnya tinggal seorang nenek renta bersama seorang bayi perempuan mungil yang baru berusia tiga bulan.
Bayi itu tidak pernah mengenal ayah dan ibunya. Sejak lahir, ia telah ditinggalkan, dan hanya neneklah yang setia merawatnya, meski dengan segala keterbatasan. Hari demi hari, sang nenek memberikan yang ia bisa pelukan hangat, doa penuh cinta, dan… air putih sebagai pengganti susu, karena ia tak mampu membelinya.
Tanah tempat gubuk itu berdiri adalah milik seorang saudagar kaya bernama Kohin. Suatu hari, Kohin ingin menjual tanah itu demi menyekolahkan anaknya ke negeri jauh bernama Australia. Namun meski ditawarkan ke mana-mana, tak seorang pun yang tertarik membeli.
Suatu pagi yang tenang, datanglah seorang musafir berjalan kaki dari dalam hutan menuju kota. Ia lelah dan haus, tapi tiba-tiba… telinganya menangkap suara tangisan bayi yang sangat memilukan. Ia mengikuti suara itu, menembus semak dan ilalang, hingga tiba di depan gubuk tua yang hampir runtuh.
Di sana, ia melihat seorang nenek memeluk erat bayi kecil yang menangis lemah.
“Nek… kenapa cucunya menangis?” tanya sang musafir dengan lembut.
Sang nenek menjawab sambil menahan tangis, “Sudah tiga hari cucu saya tidak minum susu… Hanya air putih yang bisa saya beri. Dan tanah ini… mau dijual. Kami tak tahu harus tinggal di mana lagi, Nak…”
Mendengar itu, hati sang musafir teriris. Ia berlutut, memegang tangan sang nenek, dan berkata, “Nenek… tunggulah sebentar. Cucu nenek akan segera minum susu. Saya akan kembali.”
Dengan langkah cepat, sang musafir pergi menemui Kohin, sang saudagar pemilik tanah.
“Berapa harga tanah ini, Tuan Kohin?” tanya sang musafir.
“3 miliar!” jawab Kohin dengan suara lantang.
“Baik,” jawab sang musafir tanpa ragu. Ia menuliskan cek dan menyerahkannya langsung ke tangan Kohin.
Kohin terdiam. Matanya membelalak tak percaya.
Sang musafir kembali ke gubuk tua sambil membawa sekotak susu hangat.
“Nek,” katanya sambil tersenyum, “tanah ini kini milik nenek. Saya sudah membelinya. Dan… izinkan saya menjadi ayah bagi cucu nenek. Saya akan beri dia nama Melati seperti bunga yang harum meski tumbuh dari tempat sederhana.”
Air mata haru mengalir di pipi nenek. Ia menggenggam tangan sang musafir dan berdoa dalam hati: semoga anak ini tumbuh menjadi bunga yang mekar indah di dunia yang kadang kejam.
Tahun demi tahun berlalu.
Melati tumbuh dengan kecerdasan dan hati yang lembut. Ia belajar keras, penuh semangat, dan tak pernah melupakan asal-usulnya. Kini, Melati telah menjadi seorang dokter yang menyembuhkan orang-orang sakit. Tak hanya itu ia juga menjadi seorang perwira yang gagah, berpangkat Letnan Dua, berdiri tegap membela negeri.
Dan setiap kali ia melihat ke langit malam yang penuh bintang, ia tahu… bahwa ia dulu hanyalah bayi di gubuk tua, yang hidupnya berubah karena satu orang asing yang membawa keajaiban seorang musafir dengan hati emas.
Pesan dongeng ini:
Kadang, keajaiban datang bukan dari peri atau sihir… tapi dari orang biasa yang memiliki kasih luar biasa.
RAHAYU. RAHAYU. RAHAYU