GIANYAR – Minggu, (03/08/2025), menjadi momen istimewa dalam gelaran Festival Mi Reng hari ke 2 yang digelar di Open Stage, Gedung Unit 1 Kompas Group, Jl. IB Mantra no 88A, Ketewel, Gianyar, Bali.
Tiga komposer perempuan Bali, yakni Ni Komang Wulandari, Ni Nyoman Srayamurtikanti, dan Ni Made Ayu Dwi Sattvitri, tampil menghadirkan karya-karya segar yang memperkaya khazanah musik gamelan tradisional. Dengan semangat menjaga warisan budaya, mereka membuktikan bahwa gamelan tak hanya mampu bertahan, tetapi terus berkembang melalui eksplorasi kreatif.
Ni Komang Wulandari membuka pementasan dengan Lila, sebuah karya yang terinspirasi dari makna permainan dan kebahagiaan. “Saya mengeksplorasi pola-pola tradisi dengan ritme dan dinamika baru untuk menciptakan kegembiraan,” ujarnya. Karya ini menjadi bukti bahwa tradisi bisa dihidupkan kembali dengan pendekatan yang menyenangkan.
Ni Nyoman Srayamurtikanti menghadirkan Kesehgong, sebuah eksperimen yang memadukan gamelan solo dengan gerak tubuh. “Saya ingin penonton tidak hanya menonton, tetapi merasakan pengalaman yang menyatu,” katanya.
Sedangkan Ni Made Ayu Dwi Sattvitri menutup rangkaian dengan Salulung, karya yang lahir dari mimpinya setelah mendengar gamelan salunding di sebuah pernikahan. “Saya penasaran, bagaimana jika gending rejang ucak dimainkan dengan gender?” ujarnya. Hasilnya adalah komposisi yang mengolah tradisi menjadi sesuatu yang segar.
Prof. Dr. I Wayan Dibia, yang hadir sebagai penanggap, mengingatkan bahwa kehadiran komposer perempuan di dunia gamelan Bali masih relatif baru. “Setelah 1985, barulah muncul penabuh wanita, terutama lewat kelompok seperti Sekarjaya,” ujarnya. Ia melihat kemunculan komposer muda perempuan seperti Wulandari, Srayamurtikanti, dan Sattvitri sebagai angin segar bagi pelestarian gamelan.
Ia juga mendorong para komposer untuk mendaftarkan karya mereka ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Kemenkumham) agar memiliki perlindungan hukum. “Komposisi ini adalah buah kreativitas yang perlu dijaga, bukan hanya gamelannya yang tradisional, tapi ide di baliknya,” tambahnya.
Arham Aryadi, komposer dan sutradara musik dari Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta, memberikan perspektif unik tentang proses kreatif. “Komposer bukan sekadar pencipta, tetapi pemimpi. Bagaimana mimpi-mimpi itu diwujudkan menjadi ekspresi musikal, itulah yang penting,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya mendengar bukan sekadar hearing, tetapi listening sebagai dasar kreativitas.
“Ketika Sattvitri mendengar bunyi gamelan di sebuah acara, lalu bermimpi untuk menciptakan sesuatu, itulah esensi seorang komposer. Kita tidak boleh kehilangan mimpi, karena dari sanalah karya besar lahir,” tambah Aryadi. Ia juga menyoroti peran teknologi dalam perkembangan musik. “Ilmu pengetahuan, masyarakat, dan teknologi selalu memengaruhi musik. Kita tidak bisa menolaknya, tetapi harus bijak menyikapinya.”
Festival Mi Reng hari kedua ini tidak hanya menjadi panggung pertunjukan, tetapi juga ruang refleksi tentang bagaimana gamelan Bali terus hidup. Melalui mimpi, ekspresi, dan kolaborasi, para komposer menunjukkan bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang statis. Ia bisa bernapas, berevolusi, dan berbicara kepada generasi baru asalkan ada orang-orang yang berani mendengar, bermimpi, dan menciptakan.
Sebagaimana disampaikan Aryadi, “Mendengar itu membentuk sejarah personal kita. Dan di sinilah, malam ini, sejarah baru gamelan Bali sedang ditulis.” pungkasnya. (Tim-08)