DENPASAR – Di balik gemuruh gamelan Bali yang mengalun indah, tersimpan kisah perjuangan sekelompok anak muda, khususnya perempuan, yang gigih mempertahankan seni tradisi di tengah keterbatasan. Komunitas pecinta seni budaya Bali, Black Kobra, yang bermarkas di Jl. Plawa No. 101A Denpasar adalah bukti nyata bahwa semangat dan dedikasi mampu mengalahkan segala rintangan.
Awalnya, komunitas ini terbentuk dari sekumpulan pemuda yang sering berkumpul usai latihan gamelan pada malam hari, terinspirasi dari semangat “anak jalanan” yang tak kenal lelah. Nama Black Kobra sendiri diambil dari filosofi ular kobra di leher Dewa Siwa simbol keseimbangan antara tidak merendahkan yang di bawah dan tidak sombong terhadap yang di atas. “Kami tidak boleh lupa pada guru-guru yang mengajari kami, sekaligus tidak boleh merendahkan pemula,” ujar Ni Komang Wulandari, komposer muda di komunitas ini, Minggu (03/08/2025).
Sejak 2014, mereka berproses dengan keterbatasan fasilitas. Meski memiliki basecamp namun mereka tidak memiliki alat gamelan lengkap dan harus bergantung pada pinjaman salah satunya dari Dinas Kebudayaan Denpasar atau teman-teman yang memiliki perangkat gamelan. “Kadang kami harus izin dulu, bahkan meminjam ke orang lain. Tapi semangat kami tidak pernah padam,” tutur Wulandari.
Yang menarik, Black Kobra menjadi wadah bagi generasi muda, terutama perempuan, untuk unjuk gigi di dunia gamelan yang kerap didominasi laki-laki. Tahun lalu, mereka bahkan menjadi satu-satunya kelompok perempuan yang tampil sebagai pengiring lomba Barong Ket di acara Pesta Kesenian Bali (PKB) 2024 lalu. “Kami ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa berkarya di seni tradisi,” tegas Wulandari.
Anggota komunitas ini beragam, mulai dari pelajar SLTP hingga mahasiswi yang sudah lulus. Meski banyak yang kini sibuk bekerja, mereka tetap menyisihkan waktu untuk latihan di basecamp mereka di Jl. Plawa. “Kendala utama memang fasilitas dan waktu, tapi selama ada komitmen, kami bisa atur jadwal,” ujar Wulandari.
Dukungan dari pemerintah setempat, khususnya Dinas Kebudayaan Denpasar, menjadi angin segar bagi mereka. Namun, Wulandari berharap agar perhatian dan bantuan bisa lebih besar lagi, baik dari masyarakat maupun instansi terkait. “Kami ingin terus berkembang, tidak sekadar bertahan,” harapnya.
Di tengah arus modernisasi, komunitas Black Kobra adalah contoh nyata bagaimana generasi muda, khususnya perempuan Bali menjaga warisan budaya dengan hati. Mereka bukan hanya memainkan gamelan, tetapi juga merawat filosofi dan nilai-nilai luhur di baliknya. Seperti ular kobra yang setia mendampingi Dewa Siwa, komunitas ini terus menggeliat, membawa pesan: tradisi tak akan mati selama ada yang mau menjaganya.
“Kami mungkin tidak punya banyak, tapi kami punya semangat yang tak terbatas.” pungkas Komang Wulandari. (Tim-08)