Oleh: Anak Agung Gede Agung Aryawan, ST. (Sekretaris ARUN Bali)
DENPASAR – cakranews8.com, Di balik gemerlap pariwisata dan klise “surga tropis”, masyarakat Bali justru sedang memikul beban ekonomi yang semakin berat. Ironisnya, beban untuk menjaga pesona yang menjadi daya tarik utama pulau ini yaitu adat dan budaya, nyatanya tidak diimbangi dengan penghasilan yang memadai. Sudah waktunya Pemerintah Daerah, khususnya Gubernur Bali, mengambil langkah berani dengan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) setara atau bahkan melampaui DKI Jakarta sebagai bentuk nyata perlindungan kepada masyarakat kecil.
Kesenjangan Akut di Daerah Pariwisata
Akar persoalannya adalah kesenjangan yang sangat lebar antara biaya hidup tinggi dan upah yang diterima, khususnya oleh para buruh di sektor hospitalitas seperti hotel, restoran, dan villa. Bali, sebagai destinasi pariwisata berbasis budaya, menuntut warganya untuk mengeluarkan biaya besar guna “menajegkan” atau melestarikan adat dan budaya. Mulai dari biaya les tari untuk anak-anak, pembelian pakaian adat (endek), hingga berbagai ritual dan upacara (yadnya) yang memerlukan bahan baku seperti janur, buah, dan bumbu.
Masalahnya, bahan-bahan baku untuk upacara adat ini semakin mahal dan sulit didapat. Lahan pertanian yang menyusut drastis akibat alih fungsi menjadi akomodasi wisata, memaksa Bali mendatangkan bahan-baku dari luar pulau. Akibatnya, harga barang-barang di pasar pun banyak yang mengikuti harga internasional. Di satu sisi, biaya hidup dan biaya memelihara budaya melambung, di sisi lain, upah minimum yang diterima pekerja lokal masih tertinggal jauh.
Siapa yang Terdampak dan Bertanggung Jawab?
Yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat kecil, para pekerja harian di industri pariwisata. Tekanan ekonomi ini tidak main-main, angka bunuh diri akibat masalah ekonomi dilaporkan semakin tinggi, menjadi alarm merah bagi kondisi sosial di Bali.
Pihak yang dituntut untuk bertindak adalah Pemerintah Daerah, dalam hal ini Gubernur Bali, beserta seluruh Bupati dan Walikota. Mereka dianggap belum sepenuhnya memihak kepada masyarakat kecil. Berbagai program seperti operasi pasar dan bantuan tunai, seperti bantuan uang hari raya di Badung, dinilai hanya sebagai solusi sememtara yang tidak efektif menyelesaikan masalah struktural. Slogan Kabupaten Badung sebagai “Gumi Sugih” (Bumi yang Kaya) menjadi paradoks ketika Upah Minimum Kabupaten (UMK) nya hanya sekitar Rp 3,5 juta, kalah jauh dari Bogor yang sudah menembus Rp 5,1 juta.
Mengapa Kenaikan UMP Bali Menjadi Sangat Mendesak?
Alasannya jelas: keadilan dan keberlangsungan hidup. Ada beberapa poin krusial yang harus disorot:
1. Paradoks Harga Hotel Internasional: Sangat tidak masuk akal ketika sebuah jaringan hotel internasional sebut saja yang berbasis di Singapura memberlakukan harga kamar yang sama antara cabangnya di Singapura dan di Bali. Namun, upah yang dibayarkan kepada karyawannya di Bali hanya sepersepuluh dari yang dibayarkan di Singapura (yang bisa mencapai setara Rp 65 juta/bulan). Gubernur Bali harus berani membuat kajian dan menuntut keadilan atas praktik bisnis semacam ini.
2. Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi yang Tinggi: Laporan pemerintah daerah sendiri selalu menyebut Bali memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Di sisi lain, inflasi, terutama untuk bahan pangan dan kebutuhan pokok, juga kerap tinggi. Kombinasi dua faktor inilah yang seharusnya menjadi dasar matematis yang kuat untuk menaikkan UMP/UMP ke level tertinggi se Indonesia.
3. Biaya “Ajeg Bali” yang Diabaikan: Seluruh himbauan Gubernur untuk melestarikan lingkungan (Wana Kerthi) dan budaya (Danu Kerthi, dll) pada akhirnya bermuara pada pengeluaran masyarakat. Biaya-biaya ini harus diakui secara resmi sebagai “faktor lain” dalam perhitungan upah minimum, di luar kebutuhan hidup minimum.
Di mana dan Kapan Aksi Ini Diperlukan?
Tuntutan ini berlaku untuk seluruh wilayah Provinsi Bali, dari level provinsi (UMP) hingga level kabupaten/kota (UMK). Momen penetapan upah minimum yang biasanya dibahas pada akhir tahun adalah waktu yang kritis bagi pemerintah untuk membuktikan komitmennya. Kebutuhan ini adalah kebutuhan sekarang juga, bukan besok atau lusa. Setiap penundaan hanya akan menambah beban dan meningkatkan kerentanan sosial masyarakat Bali.
Bagaimana Seharusnya Pemerintah Bertindak?
Pemerintah Daerah harus berani keluar dari zona nyaman. Gubernur Bali perlu:
1. Membuat Kajian Khusus: Mengkaji ulang struktur biaya hidup di Bali dengan memasukkan secara serius komponen biaya pelestarian adat dan budaya.
2. Berani Menetapkan Kebijakan Pro-Rakyat: Menetapkan UMP Bali pada angka yang setara dengan DKI Jakarta, bahkan berambisi untuk menjadi yang tertinggi di Indonesia, sebagai cerminan dari tingginya biaya hidup dan kontribusi budaya terhadap pariwisata.
3. Memaksa Korporasi untuk Berkeadilan: Melakukan pendekatan dan regulasi yang memastikan perusahaan-perusahaan besar, khususnya yang berlabel internasional, memberikan upah yang layak dan berkeadilan, sebanding dengan pendapatan dan harga yang mereka terapkan.
Masyarakat Bali tidak meminta belas kasihan. Mereka menuntut keadilan. Kenaikan UMP yang signifikan bukan sekadar urusan angka, melainkan sebuah langkah strategis untuk menyelamatkan masa depan Bali, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun kelestarian budaya yang menjadi napas pariwisatanya. Jika pemerintah masih berdiam diri, maka gugatan ini akan semakin keras: untuk siapa sebenarnya “surga” Bali ini dipertahankan? (Tim-08)
