Oleh : Ngurah Sigit
DENPASAR – Negeri ini sesungguhnya tidak kekurangan ibu. Kita hanya terlalu sering lupa pada yang diam. Hutan adalah ibu asuh yang wingit—hening, tua, dan penuh laku. Ia tidak berpidato tentang cinta tanah air, tetapi menumbuhkannya perlahan, dari akar ke nurani.
Pohon cendana mengajarkan bahwa pengabdian lahir dari kesabaran yang terluka. Harumnya bukan hadiah, melainkan laku. Gaharu menegur kesadaran kita: nilai sejati bangsa kerap muncul setelah terbakar oleh ujian. Beringin mengajarkan kepemimpinan menaungi tanpa mencengkeram. Pule merawat, jati menegakkan watak, sawo kecik mengingatkan asal-usul yang sederhana, dan bambu memperlihatkan bahwa persatuan adalah kelenturan yang saling menguatkan.
Dalam hutan, spiritualitas tidak berisik. Ia bekerja seperti doa yang ditanam. Patriotisme pun demikian bukan sorak, melainkan kesediaan menjaga yang tidak bisa bicara. Ketika kita menebang tanpa batin, sesungguhnya kita memotong ingatan.
Ibu Asuh Hutan tidak meminta dipuja. Ia hanya ingin dijaga. Sebab dari rahimnya, bangsa belajar berdiri, bersabar, dan pulang pada adab. Jika negeri ini ingin panjang umur, dengarkanlah ibu yang wingit itu sebelum sunyinya berubah menjadi murka.
Penulis Adalah : Sosiolog, Budayawan dan Pemerhati Media.
