Oleh : Ngurah Sigit
DENPASAR – Ada anak lelaki yang lahir dari tanah basah lumpur yang menempel di kaki sejak ia bisa berjalan. Ibunya perempuan sederhana, menganyam doa di sela jemari yang kapalan. Ayahnya petani yang tahu, di balik punggung yang bungkuk ada langit yang tak pernah runtuh.
Orang-orang memanggilnya Nanang Lecir. Lecir, karena wajahnya selalu kotor lumpur, dan juga karena hidupnya harus licin menghindari kerasnya dunia. Tapi di matanya, lumpur bukan kutukan. Lumpur adalah awal.
Hidupnya adalah perjalanan panjang: dari sawah yang tak pernah bohong, dari mata air yang tak pernah berhenti mengalir, hingga langit yang tak pernah mau ia gapai terlalu cepat. Sebab bagi Nanang, langit bukan tujuan, melainkan janji.
Asap keretek menari di udara, melayang lalu pecah dihembus angin sore. Nanang Lecir duduk di kursi kayu tua yang kakinya mulai goyah, di beranda rumah yang menghadap ke hamparan sawah. Matanya memandang jauh, seolah di ujung padi yang bergoyang itu ada jawaban yang selama ini ia cari.
Ia menghela napas panjang. “Hhh… ibu…” bisiknya, pelan, nyaris tak terdengar. Jemarinya meraih buku yang sudah mulai menguning, kertasnya tipis, tapi di setiap halaman tersimpan masa lalu yang berat sekaligus manis.
Sampulnya tertulis: “Nanang Lecir: Dari Lumpur ke Langit.”
Tangannya membuka halaman 13. Ia membacanya seperti orang membaca doa.
” Dunia ini terlalu luas, tapi ibu hanya mengambil tanah sepetak untuk tidur panjang. Ia membiarkan aku mengembara menghadapi dunia, bermodalkan doa-doa.”
Kata-kata itu menusuk dadanya.
“Ibu… bahkan di akhir hayatmu, yang kau tinggalkan untukku bukan harta, tapi kekuatan. Doa itu… yang membuat aku masih di sini hari ini.” Air matanya jatuh, mengalir pelan di pipinya yang keriput.
Tangannya beralih ke halaman 31. Tulisan tangan ayahnya yang kokoh terpampang di sana.
” Kalau engkau berjalan, jangan pernah melihat ke belakang. Jangan pula menatap langit. Lihatlah ibu jari kakimu, bagaimana ia menjadi kunci untuk menopang langkah-langkah berat di kehidupan yang penuh warna dan drama. Ini, 13 butir beras terbungkus kain hitam, dan bendera merah putih simbol penyatuan ibu dan ayah, getah dan getih.”
Nanang tersenyum tipis, seperti orang yang kembali mendengar suara ayahnya.
“Ayah… kau mengajariku bahwa langkah kecil pun harus dijaga, karena itulah yang membawaku ke jauh. Dan beras itu… selalu kubawa, bahkan saat aku lapar.”
Ia membalik lagi. Halaman 113. Pesan ayah angkatnya menunggu seperti seorang sahabat lama.
” Kerendahan hatimu, mau mendengarkan, sabar, dan ringan tangan adalah kunci dari akhir setiap perjalanan. Rahayu, rahayu, rahayu.”
Nanang menutup buku itu, menatap sawah di depannya.
“Tiga orang ayah-ibu… tiga mata air. Kalian yang membentuk aku. Perjalananku memang belum selesai, tapi aku sudah tahu: lumpur tempatku lahir dan langit yang aku tuju… hanyalah dua wajah dari jalan yang sama.”
Kertek di jarinya sudah habis. Ia mematikan puntungnya di tanah. Lalu berdiri, menatap matahari yang pelan-pelan turun. Angin sore menyentuh wajahnya seperti sentuhan tangan ibu.
“Rahayu…” ia berbisik. Lalu melangkah.
Penulis Adalah : Sosiolog, Budayawan dan Pemerhati Media.
