Oleh : Ngurah Sigit
DENPASAR – Di ufuk timur negeri ini, ketika fajar membasuh laut dengan cahaya pertama, para penjaga nusantara kembali menegakkan harapan. Mereka menyebutnya samudra kahuripan hamparan air tak bertepi yang memberi makan, menjaga napas, dan menjadi saksi janji manusia kepada Sang Pencipta.
Di sepanjang garis pantai, nelayan berangkat dalam hening doa. Tangan mereka kasar, tetapi hati mereka lembut. Mereka percaya setiap gelombang membawa rahmat, setiap hembusan angin mengandung amanah. Dari laut yang sama, polisi, tentara penjaga batas mengawasi cakrawala. Bagi mereka, samudra bukan sekadar ruang biru, melainkan sabda kebangsaan: bahwa kedaulatan harus dijaga, dan kehidupan harus dilindungi.
Di antara riak, bisik spiritual terdengar: bahwa air adalah asal mula, dan laut adalah kitab yang terus dibuka. Di sanalah manusia belajar kerendahan hati, keteguhan, dan syukur yang tak pernah habis.
“Samudra Kahuripan” bukan hanya kisah tentang air. Ia adalah kisah tentang bangsa yang hidup dari anugerah Tuhan dan berdiri dengan keberanian. Selama laut tetap berdenyut, selama gelombang tak lelah menyapa pantai, Indonesia akan selalu menemukan kembali jati dirinya kuat, teduh, dan penuh daya hidup.
Penulis Adalah : Sosiolog, Budayawan dan Pemerhati Media.
