Oleh Kombes Pol. Mohammad Kholid, S.I.K., M.M.
MATARAM – Pengadilan Negeri Mataram menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada I Wayan Agus Suartama, alias Agus Buntung. Pria tanpa kedua tangan itu dinyatakan bersalah melakukan kekerasan seksual terhadap sedikitnya 15 perempuan, termasuk dua anak di bawah umur. Putusan yang dibacakan pada 27 Mei 2025 tersebut menjadi penutup rangkaian proses hukum yang kompleks, sarat sorotan publik, dan penuh perdebatan etis maupun hukum.
Agus dikenal sebagai penyandang disabilitas aktif yang kerap terlibat dalam kegiatan komunitas. Status itu dimanfaatkannya untuk mendekati korban secara personal. Ia memulai komunikasi melalui media sosial, lalu menggunakan tekanan emosional untuk mengajak korban melakukan kontak fisik yang tidak diinginkan. Modusnya bukan kekerasan fisik, melainkan manipulasi psikologis dan penyalahgunaan relasi kuasa yang tidak seimbang.
Sejak laporan awal diterima Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) pada akhir 2024, aparat bergerak cepat. Meski berhadapan dengan pelaku difabel dan dukungan emosional dari sebagian publik, polisi tetap bertindak berdasarkan bukti hukum, bukan tekanan media sosial.
Polda NTB tidak menahan Agus secara fisik selama penyidikan, namun memastikan proses hukum berjalan sesuai prosedur, menerapkan prinsip proporsionalitas. Kondisi disabilitas Agus diakui, tetapi tidak menghapus tanggung jawab hukumnya. Polisi juga tidak terpengaruh opini publik yang terbelah antara simpati terhadap difabel dan tuntutan keadilan bagi korban. Fokus pada pembuktian menjadi wujud konsistensi penegakan hukum yang tidak bias, bahkan di tengah atmosfer sosial yang gaduh.
Dalam situasi ini, peran kehumasan menjadi ujung tombak komunikasi antara institusi kepolisian dan masyarakat. Humas Polda NTB mengambil pendekatan responsif, yakni menyampaikan informasi secara terbuka, faktual, dan edukatif, tanpa bersikap reaktif terhadap tekanan opini sesaat di media sosial. Sikap tegas ini penting untuk menjaga integritas proses hukum sekaligus memastikan publik mendapat informasi yang benar, bukan sekadar cepat.
Kami menyadari, di era digital, kecepatan informasi kerap mengalahkan akurasi. Karena itu, kehumasan yang bertanggung jawab menjadi benteng agar isu tidak berkembang liar. Setiap pernyataan diverifikasi dan disusun untuk menenangkan, bukan memprovokasi. Kami memilih menjelaskan proses hukum secara utuh ketimbang menanggapi setiap komentar emosional di ruang digital.
Dalam kasus Agus, komunikasi publik diarahkan agar mendukung proses hukum tanpa menimbulkan stigma terhadap penyandang disabilitas maupun korban. Penegakan hukum harus menumbuhkan kepercayaan, bukan ketakutan. Inilah sebabnya peran humas sangat krusial dalam penanganan isu sensitif seperti ini.
Aspek Hukum dan Pendekatan Inklusif
Agus dijerat Pasal 6, Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pasal-pasal tersebut mencakup kekerasan fisik seksual, manipulasi psikologis, dan pelecehan seksual non-fisik. Kasus ini menjadi salah satu penerapan awal UU TPKS terhadap pelaku difabel.
Peneliti hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Dewi Harwanti, menegaskan bahwa tidak semua penyandang disabilitas otomatis terbebas dari pertanggungjawaban pidana. Jika asesmen psikologis menunjukkan bahwa pelaku memahami perbuatannya dan risikonya, maka proses hukum wajib dilanjutkan.
Asesmen psikologi forensik yang dilakukan selama penyidikan menyatakan Agus memiliki pemahaman penuh atas tindakan dan dampaknya. Artinya, status disabilitas tidak menghapus tanggung jawab pidananya.
Pandangan ini sejalan dengan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Konvensi tersebut menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum, termasuk hak atas pengadilan yang adil dan kewajiban mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Guru besar studi gender dan HAM UIN Sunan Kalijaga, Prof. Siti Ruhaini Dzuhayatin, juga menyoroti modus manipulasi emosional yang dilakukan Agus. Menurutnya, pelaku difabel sering kali dianggap tidak berbahaya sehingga mendapat kepercayaan tinggi, yang justru dimanfaatkan untuk menjangkau korban secara psikologis.
Perlindungan Korban Jadi Prioritas
Sikap tegas aparat penegak hukum ditunjukkan melalui kolaborasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kementerian Sosial, dan Komnas Disabilitas. Para korban, yang awalnya enggan bersuara karena status sosial serta disabilitas pelaku, mulai melapor setelah melihat transparansi proses hukum.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan, perlindungan korban menjadi prioritas utama. Hak penyandang disabilitas harus dihormati, tetapi tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan hak korban.
Jumlah korban bertambah selama penyidikan, hingga total 15 orang, dengan pola kekerasan serupa: komunikasi personal lewat media sosial, dilanjutkan tekanan psikologis, dan kontak seksual yang tidak diinginkan.
Keadilan yang Setara
Kasus Agus Buntung membuktikan, hukum di Indonesia bergerak menuju inklusivitas tanpa mengorbankan keadilan. Hak pelaku sebagai penyandang disabilitas dijaga, sementara korban mendapatkan perlindungan dan dukungan penuh.
Vonis 10 tahun penjara adalah wujud tanggung jawab negara atas kekerasan seksual yang kerap tak terlihat karena sifatnya non-fisik dan manipulatif. Putusan ini menegaskan bahwa siapa pun, apa pun kondisinya, tetap dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Kasus ini juga membuka diskusi luas mengenai cara masyarakat memandang disabilitas dalam konteks hukum dan moral. Ada kekhawatiran penyandang disabilitas bisa mengalami diskriminasi, namun juga kebutuhan memastikan status disabilitas tidak dijadikan tameng untuk menghindari hukuman.
Kasus Agus menjadi pengingat bahwa keadilan harus dijalankan dengan mempertimbangkan kompleksitas manusia. Sistem hukum dituntut mampu menyeimbangkan penegakan hukum yang tegas dengan perlindungan hak individu, termasuk penyandang disabilitas. Hanya melalui pendekatan inklusif dan berkeadilan, masyarakat dapat benar-benar menghormati martabat setiap warganya. (*)
Penulis:
Kepala Bidang Humas Polda NTB Kombes Pol. Mohammad Kholid, S.I.K., M.M.