Jakarta – Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menyetujui lima permohonan penghentian penuntutan berdasarkan mekanisme restorative justice (keadilan restoratif). Persetujuan tersebut diberikan dalam ekspose virtual yang digelar pada Senin, 26 Mei 2025.
Salah satu perkara yang mendapat persetujuan untuk diselesaikan secara restoratif adalah kasus penadahan yang melibatkan Tersangka Febrian alias Febri bin Amat dari Kejaksaan Negeri Rokan Hulu. Ia disangka melanggar Pasal 480 ke-1 atau ke-2 KUHP tentang Penadahan.
Kronologi Perkara
Kasus ini bermula pada Sabtu, 18 Januari 2025, sekitar pukul 04.00 WIB di Desa Ngaso, Kecamatan Ujung Batu, Kabupaten Rokan Hulu. Saksi Muliadi—yang perkaranya diproses secara terpisah—datang ke rumah Tersangka membawa sepeda motor curian milik Iso Safra Graha. Ia meminta Tersangka untuk membantu mengubah bentuk kendaraan dengan melepas seluruh bodi motor agar tidak mudah dikenali, sebelum dijual dan hasilnya digunakan untuk berfoya-foya.
Tersangka menyanggupi permintaan tersebut dan ikut serta dalam upaya penjualan motor. Namun, saat hendak menjual kendaraan tersebut di wilayah Ujung Batu, keduanya berhasil diamankan oleh pihak Kepolisian.
Diketahui bahwa Tersangka tidak memiliki izin dari pemilik kendaraan. Motor tersebut sebelumnya dibeli oleh korban seharga sekitar Rp5 juta, namun nilainya kini merosot hingga di bawah Rp2,5 juta karena telah diubah dan tidak utuh.
Proses Restoratif
Melihat konteks perkara dan nilai kerugian, Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hulu Fajar Haryowimbuko, S.H., M.H., bersama Kasi Pidum Rendi Panalosa, S.H., M.H., serta Jaksa Fasilitator Noprialdy Julian Saputra, S.H. dan Jeffrey Parulian Limbong, S.H., menginisiasi penyelesaian melalui jalur keadilan restoratif.
Tersangka mengakui perbuatannya, menyesal, dan menyampaikan permintaan maaf kepada korban. Korban pun memaafkan dan meminta agar proses hukum dihentikan.
Setelah perdamaian tercapai, Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hulu mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Riau, Akmal Abbas, S.H., M.H., yang kemudian meneruskan permohonan tersebut ke JAM-Pidum. Permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice tanggal 26 Mei 2025.
Empat Perkara Lain yang Disetujui
Selain kasus di Rokan Hulu, empat perkara lain yang disetujui untuk dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif yaitu:
1. M. Sultan Fadri bin Effendi Wijaya (Alm) – Kejari Palembang (Pasal 362 KUHP – Pencurian)
2. Bambang Prasetyo bin Amin Sugiarjo – Kejari Kebumen (Pasal 362 KUHP – Pencurian)
3. Gunawan alias Pak Alfin bin Nyaman – Kejari Grobogan (Pasal 480 Ayat 1 KUHP – Penadahan)
4. Muhammad Abadi Lubis alias Lubis bin Muhammad Said – Kejari Pelalawan (Pasal 351 Ayat 1 KUHP – Penganiayaan)
Dasar Pertimbangan Restoratif
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif diberikan karena memenuhi sejumlah syarat, antara lain:
Adanya perdamaian antara Tersangka dan korban
Tersangka mengakui kesalahan dan belum pernah dihukum
Ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun
Proses perdamaian berlangsung secara sukarela tanpa tekanan
Pertimbangan sosiologis dan respons positif masyarakat
Tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya
JAM-Pidum pun menegaskan agar para Kepala Kejaksaan Negeri segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor 01/E/EJP/02/2022 tentang pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.(Tim13)