BULELENG – Bali saat ini sedang menghadapi dilema besar dalam sektor peternakan babi. Lonjakan harga babi yang terjadi beberapa waktu terakhir menjadi isu yang berdampak pada berbagai lapisan masyarakat, mulai dari peternak, jagal, hingga konsumen. Di tengah situasi ini, muncul desakan terhadap pemerintah dan asosiasi peternak untuk mencari solusi yang konkret.
Putu Ria Wijayanti, seorang peternak dan pengusaha pengiriman babi asal Bali, saat ditemui dikediamannya, memberikan pandangannya terkait masalah ini, Rabu (25/12/2024)
Menurutnya, krisis ini dipicu oleh beberapa faktor utama, termasuk tingginya harga pakan seperti jagung yang pernah mencapai Rp10.000 per kilogram. “Harga pakan yang tinggi membuat banyak peternak gulung tikar. Banyak yang terpaksa menjual indukan mereka, yang seharusnya menjadi mesin produksi utama peternakan,” jelas pengusaha perempuan asal Seririt ini.
Lonjakan harga babi tidak hanya menjadi tantangan bagi peternak, tetapi juga bagi jagal lokal. Banyak jagal mengeluhkan kesulitan menjual daging babi dengan harga yang sebanding di pasar. Hal ini disebabkan daya beli masyarakat yang menurun, sehingga stok daging sulit terserap pasar.
“Masalah ini bukan hanya soal harga tinggi, tetapi juga soal daya serap pasar yang rendah. Para pengurus asosiasi jangan hanya melihat permasalahan harga jual, tetapi juga harus dapat memberikan solusi bagi anggotanya yang kesulitan menyesuaikan diri dengan kondisi pasar,” tambahnya.
Bagi peternak kecil, memulai kembali usaha mereka adalah keputusan yang berat. Harga bibit babi yang mencapai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per ekor, ditambah dengan biaya pakan dan operasional, membuat total modal awal bisa mencapai Rp35 juta untuk 10 ekor babi. Angka ini cukup besar untuk banyak rumah tangga di Bali.
“Banyak yang berpikir ulang untuk memulai lagi. Selain harga pakan yang mahal, risiko penyakit seperti ASF (African Swine Fever) juga masih tinggi. Peternak butuh kepastian bahwa usaha mereka aman dan menguntungkan,” tegasnya.
Dirinya melihat ada beberapa langkah yang dapat menjadi solusi jangka panjang:
1. Subsidi Pakan: Pemerintah perlu memberikan subsidi untuk bahan pakan, terutama jagung, agar biaya produksi peternak dapat ditekan.
2. RPH Resmi di Setiap Kabupaten:
Saat ini, hanya ada dua Rumah Potong Hewan (RPH) resmi di Bali. Pembangunan RPH di setiap kabupaten akan membantu meningkatkan efisiensi dan standar pemotongan hewan.
3. Daging Beku untuk Pasar Luar Bali:
Pengiriman daging beku dapat menjadi solusi bagi pasar luar Bali, terutama di wilayah dengan daya serap tinggi seperti Papua.
4. Edukasi dan Pendampingan Peternak:
Peternak perlu diberikan pelatihan tentang biosecurity dan manajemen peternakan untuk meningkatkan kualitas produksi.
5. Kredit yang Mudah Diakses:
Akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang lebih fleksibel tanpa jaminan dapat membantu peternak memulai kembali usaha mereka.
Krisis ini menjadi momentum penting untuk membangun kembali kepercayaan peternak dan masyarakat terhadap sektor peternakan babi di Bali. Putu Ria berharap pemerintah dapat lebih serius menangani masalah ini, mulai dari subsidi pakan hingga regulasi harga yang adil.
Dalam menghadapi situasi ini, diperlukan duduk bersama semua pihak yang berkaitan, mulai dari pemerintah, asosiasi peternak, jagal, hingga pelaku pasar lainnya. Tujuannya adalah untuk menemukan solusi bersama yang dapat menjamin keberlanjutan industri ternak babi di Bali.
“Kita harus saling mendengarkan. Tidak bisa hanya satu pihak yang memutuskan. Pemerintah, peternak, jagal, dan konsumen perlu duduk bersama untuk merumuskan strategi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak. Ini tidak hanya soal harga, tetapi juga soal keberlangsungan industri dan kesejahteraan masyarakat,” kata Ria.
“Bali adalah pusat peternakan babi di Indonesia. Kita harus mempertahankan posisi ini dengan memberikan dukungan maksimal kepada peternak dan pelaku pasar lokal. Jika tidak, kita hanya akan melihat sektor ini terus menurun,” pungkasnya. (E’Brv)