DENPASAR – Keberadaan transportasi publik yang mumpuni bukan hanya sekadar kebutuhan, tetapi juga menjadi indikator kemajuan suatu daerah. Sebagai destinasi wisata internasional, Bali seharusnya memiliki sistem transportasi publik yang memadai, nyaman, dan terjangkau. Selain mengurangi kemacetan, transportasi publik juga dapat menekan polusi udara dan menurunkan tingkat kecelakaan lalu lintas.

Gubernur Bali, I Wayan Koster, dalam Rapat Koordinasi Pemerintahan Daerah Provinsi, Kota, dan Kabupaten se-Bali pada 12 Maret 2025, menyatakan bahwa persiapan tender operasional bus Teans Metro Dewata (TMD) sedang berlangsung. “Mudah-mudahan akhir April 2025, TMD sudah mulai beroperasi,” ujarnya.Masyarakat kecil Denpasar menyambut baik pernyataan Gubernur Bali tentang rencana menghidupkan kembali TMD. Bagi mereka, ini adalah secercah harapan yang dinantikan sejak lama.
Bagi sebagian besar masyarakat kecil di Denpasar, kehadiran Trans Metro Dewata (TMD) bukan sekadar pilihan transportasi, melainkan sebuah kebutuhan mendesak yang menyangkut hajat hidup sehari-hari. Namun, sejak berhentinya operasional TMD pada 1 Januari 2025, kehidupan mereka berubah drastis. Biaya transportasi yang melambung tinggi, waktu tempuh yang semakin panjang, dan ketidaknyamanan dalam mobilitas menjadi tantangan sehari-hari yang harus mereka hadapi.
Jero Puri, seorang perempuan penyandang disabilitas netra yang bekerja sebagai pemijat, adalah salah satu dari ribuan warga Denpasar yang merasakan dampak langsung dari berhentinya operasional TMD. “Dulu, dengan TMD, saya hanya perlu mengeluarkan Rp 300.000 per bulan untuk transportasi. Sekarang, saya bisa menghabiskan hingga Rp 2 juta,” keluhnya.
Sebagai seorang penyandang disabilitas, Jero Puri sangat bergantung pada transportasi publik yang ramah dan terjangkau. TMD tidak hanya menyediakan tarif khusus sebesar Rp 2.000 untuk penyandang disabilitas, tetapi juga dilengkapi dengan penanda suara yang memudahkan penumpang tunanetra seperti dirinya untuk mengetahui lokasi pemberhentian.
“Sekarang, saya harus memilih antara makan atau transportasi. Ini sangat berat,” ujarnya dengan suara lirih. Dirinya sering dipanggil untuk memijat di berbagai daerah, mulai dari Gianyar, Badung, hingga Tabanan. Tanpa TMD, ia harus mengandalkan ojek online atau taksi, yang biayanya jauh lebih mahal dan tidak selalu ramah bagi penyandang disabilitas.

Tidak hanya penyandang disabilitas, masyarakat kecil lainnya juga merasakan dampak yang sama. Ngurah Termana, seorang pekerja swasta yang tinggal di Denpasar, mengaku bahwa kehadiran TMD sangat membantu mobilitasnya sehari-hari.
“TMD itu bersih, nyaman, dan harganya terjangkau. Sejak TMD tidak beroperasi, saya harus naik motor atau ojek online, yang biayanya jauh lebih mahal,” ujarnya. Ngurah, yang juga aktif di Forum Diskusi Transportasi Bali (FDTB), menambahkan bahwa TMD telah menjadi acuan transportasi publik yang baik di Bali. “Koridor yang dilayani TMD sangat strategis. Keberadaannya sangat dirindukan,” katanya.
Bagi keluarga miskin di Denpasar, lonjakan biaya transportasi menjadi beban yang semakin memberatkan. Made, seorang perempuan penjual sayur keliling di Pasar Badung, mengaku bahwa sejak TMD berhenti beroperasi, ia harus mengeluarkan biaya tambahan untuk transportasi. “Dulu, saya bisa naik TMD dengan tarif murah. Sekarang, saya harus naik angkutan umum yang lebih mahal dan tidak nyaman,” ujarnya. Perempuan yang berpenghasilan pas-pasan ini, harus menekan pengeluaran untuk kebutuhan lain, seperti makanan dan pendidikan anak-anaknya.

Menyadari urgensi kebutuhan masyarakat akan transportasi publik yang murah dan mudah, Forum Diskusi Transportasi Bali (FDTB) terus mendorong pemerintah untuk segera mengoperasikan kembali TMD. Dyah Rooslina, seorang penggagas petisi “Lanjutkan Operasional Bus Trans Metro Dewata Sebagai Transportasi Publik di Bali,” mengungkapkan bahwa petisi tersebut telah ditandatangani oleh lebih dari 25.000 orang. “Ini menunjukkan betapa besar kebutuhan masyarakat akan transportasi publik seperti TMD,” tegasnya.
Petisi tersebut tidak hanya menjadi wujud kepedulian masyarakat, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa TMD telah menjadi bagian penting dari kehidupan warga Denpasar. “Masyarakat kecil, seperti ibu-ibu penjual sayur, pekerja harian, dan penyandang disabilitas, sangat bergantung pada TMD. Tanpa TMD, hidup mereka semakin sulit,” ujar Dyah.
Masyarakat berharap, pemerintah tidak hanya memberikan janji, tetapi juga tindakan nyata. Mereka menunggu realisasi operasional TMD di bulan April 2025, sebagai bukti bahwa pemerintah peduli terhadap kebutuhan rakyat kecil.
“Kami hanya ingin transportasi yang murah dan mudah. Itu saja,” ujar Jero Puri, mewakili suara ribuan warga Denpasar yang masih menanti kehadiran kembali Trans Metro Dewata. (Tim-08)