Close Menu
    What's Hot

    Ibu Asuh Hutan

    16 December 2025

    Penglipuran Mantapkan Langkah Menuju Pariwisata Regeneratif di Bali

    14 December 2025

    Pansus TRAP DPRD Bali Raih Jagran Achiever Award 2025, Kiprah Jaga Alam Diakui Internasional

    14 December 2025

    Darmawan Prasodjo Mengabdi Dengan Hati.

    13 December 2025
    Facebook Instagram
    Facebook X (Twitter) Instagram
    cakranews8.com
    • Beranda
    • Berita
    • Artikel
    • Politik
    • Ekonomi
    • Nasional
    • Pariwisata
    cakranews8.com
    Home»Cerita Rakyat»Nanang Lecir: Dari Lumpur ke Langit, Rabu 13 Agustus 2025
    Cerita Rakyat

    Nanang Lecir: Dari Lumpur ke Langit, Rabu 13 Agustus 2025

    By cakranews813 August 2025Updated:13 August 20253 Mins Read
    Facebook Twitter Email Telegram WhatsApp Copy Link
    Share
    Facebook Twitter Email Telegram WhatsApp Copy Link

    Oleh : Ngurah Sigit

     

    DENPASAR – Ada anak lelaki yang lahir dari tanah basah lumpur yang menempel di kaki sejak ia bisa berjalan. Ibunya perempuan sederhana, menganyam doa di sela jemari yang kapalan. Ayahnya petani yang tahu, di balik punggung yang bungkuk ada langit yang tak pernah runtuh.

    Orang-orang memanggilnya Nanang Lecir. Lecir, karena wajahnya selalu kotor lumpur, dan juga karena hidupnya harus licin menghindari kerasnya dunia. Tapi di matanya, lumpur bukan kutukan. Lumpur adalah awal.

    Hidupnya adalah perjalanan panjang: dari sawah yang tak pernah bohong, dari mata air yang tak pernah berhenti mengalir, hingga langit yang tak pernah mau ia gapai terlalu cepat. Sebab bagi Nanang, langit bukan tujuan, melainkan janji.

    Asap keretek menari di udara, melayang lalu pecah dihembus angin sore. Nanang Lecir duduk di kursi kayu tua yang kakinya mulai goyah, di beranda rumah yang menghadap ke hamparan sawah. Matanya memandang jauh, seolah di ujung padi yang bergoyang itu ada jawaban yang selama ini ia cari.

    Ia menghela napas panjang. “Hhh… ibu…” bisiknya, pelan, nyaris tak terdengar. Jemarinya meraih buku yang sudah mulai menguning, kertasnya tipis, tapi di setiap halaman tersimpan masa lalu yang berat sekaligus manis.

    Sampulnya tertulis: “Nanang Lecir: Dari Lumpur ke Langit.”

    Tangannya membuka halaman 13. Ia membacanya seperti orang membaca doa.

    ” Dunia ini terlalu luas, tapi ibu hanya mengambil tanah sepetak untuk tidur panjang. Ia membiarkan aku mengembara menghadapi dunia, bermodalkan doa-doa.”

    Kata-kata itu menusuk dadanya.

    “Ibu… bahkan di akhir hayatmu, yang kau tinggalkan untukku bukan harta, tapi kekuatan. Doa itu… yang membuat aku masih di sini hari ini.” Air matanya jatuh, mengalir pelan di pipinya yang keriput.

    Artikel lain  Rasa Hulu Yeh Ho

    Tangannya beralih ke halaman 31. Tulisan tangan ayahnya yang kokoh terpampang di sana.

    ” Kalau engkau berjalan, jangan pernah melihat ke belakang. Jangan pula menatap langit. Lihatlah ibu jari kakimu, bagaimana ia menjadi kunci untuk menopang langkah-langkah berat di kehidupan yang penuh warna dan drama. Ini, 13 butir beras terbungkus kain hitam, dan bendera merah putih simbol penyatuan ibu dan ayah, getah dan getih.”

    Nanang tersenyum tipis, seperti orang yang kembali mendengar suara ayahnya.

    “Ayah… kau mengajariku bahwa langkah kecil pun harus dijaga, karena itulah yang membawaku ke jauh. Dan beras itu… selalu kubawa, bahkan saat aku lapar.”

    Ia membalik lagi. Halaman 113. Pesan ayah angkatnya menunggu seperti seorang sahabat lama.

    ” Kerendahan hatimu, mau mendengarkan, sabar, dan ringan tangan adalah kunci dari akhir setiap perjalanan. Rahayu, rahayu, rahayu.”

    Nanang menutup buku itu, menatap sawah di depannya.

    “Tiga orang ayah-ibu… tiga mata air. Kalian yang membentuk aku. Perjalananku memang belum selesai, tapi aku sudah tahu: lumpur tempatku lahir dan langit yang aku tuju… hanyalah dua wajah dari jalan yang sama.”

    Kertek di jarinya sudah habis. Ia mematikan puntungnya di tanah. Lalu berdiri, menatap matahari yang pelan-pelan turun. Angin sore menyentuh wajahnya seperti sentuhan tangan ibu.

    “Rahayu…” ia berbisik. Lalu melangkah.

    Penulis Adalah : Sosiolog, Budayawan dan Pemerhati Media.

    Share. Facebook Twitter Email Telegram WhatsApp Copy Link

    Related Posts

    Rasa yang Menyangga Republik

    Rasa Hulu Yeh Ho

    Tiang Merah Putih Nang Lecir

    Dongeng Melati di Gubuk Tua

    Don't Miss
    Artikel

    Ibu Asuh Hutan

    By cakranews816 December 2025

    Oleh : Ngurah Sigit DENPASAR – Negeri ini sesungguhnya tidak kekurangan ibu. Kita hanya…

    Penglipuran Mantapkan Langkah Menuju Pariwisata Regeneratif di Bali

    14 December 2025

    Pansus TRAP DPRD Bali Raih Jagran Achiever Award 2025, Kiprah Jaga Alam Diakui Internasional

    14 December 2025
    Our Picks
    • Facebook
    • Twitter
    • Pinterest
    • Instagram
    • YouTube
    • Vimeo
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    • Beranda
    • Artikel
    © 2025 Cakranews8. Powered by Iwana.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.